
©ANTARA FOTO/WAHDI SEPTIAWAN
Pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan rencana penerapan wajib bahan bakar minyak (BBM) dengan campuran 10% bioetanol (E10). Kebijakan ambisius ini diposisikan sebagai langkah strategis untuk menekan impor BBM, memperkuat ketahanan energi nasional, dan mengejar target emisi nol bersih (Net Zero Emission) pada 2060. Setelah memperkenalkan Pertamax Green 95 (E5), lompatan ke E10 menandakan akselerasi serius dalam transisi energi.
Namun, di tengah optimisme pemerintah, muncul pertanyaan krusial dari segmen terbesar pengguna kendaraan di tanah air: para pengendara motor. Dengan populasi puluhan juta unit, banyak di antaranya merupakan kendaraan keluaran lama atau yang masih mengandalkan sistem karburator, kebijakan ini memunculkan dilema. Apakah E10 akan menjadi solusi ramah lingkungan yang efisien, atau justru menjadi masalah baru yang mengancam durabilitas mesin dan kantong mereka?
Peta Jalan dan Target Implementasi E10
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan kebijakan mandatori E10 dapat berlaku secara efektif pada tahun 2028. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa rencana ini telah mendapat persetujuan dari Presiden Prabowo Subianto dan akan menjadi salah satu program prioritas.
“Tujuannya apa? Agar kita tidak impor banyak dan juga untuk membuat minyak yang bersih, yang ramah lingkungan,” ujar Bahlil dalam keterangannya.
Untuk memenuhi kebutuhan etanol yang diperkirakan mencapai 1,2 juta kiloliter per tahun hanya untuk fase awal (BBM non-subsidi), pemerintah berencana membangun pabrik-pabrik etanol baru yang berbasis tebu dan singkong. Implementasi akan dilakukan bertahap, dimulai dari BBM non-subsidi, meniru model keberhasilan program biodiesel (B40).
Sudut Pandang Industri dan Ahli: Antara Optimisme dan Peringatan
Dari sisi industri otomotif, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyatakan kesiapannya. Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, menyebut bahwa mayoritas kendaraan modern, terutama mobil keluaran di atas tahun 2000-an, secara teknis sudah siap menggunakan E10 bahkan hingga E20 tanpa masalah.
Dukungan serupa datang dari kalangan akademisi. Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Prof. Wardana, menyatakan bahwa kandungan etanol pada BBM E10 justru berdampak positif bagi mesin modern dengan rasio kompresi tinggi, karena meningkatkan nilai oktan dan membuat pembakaran lebih sempurna.
Namun, peringatan keras datang dari para ahli terkait dampak pada kendaraan yang lebih tua, khususnya sepeda motor. Bahaya utama etanol terletak pada sifat kimianya:
- Higroskopis (Menyerap Air): Etanol sangat mudah menyerap uap air dari udara. Jika air terakumulasi di dalam tangki, ia akan mengendap di dasar dan memicu korosi (karat), terutama pada tangki motor yang umumnya terbuat dari logam.
- Sifat Pelarut: Etanol adalah pelarut yang dapat merusak komponen berbahan karet dan plastik dalam sistem bahan bakar, seperti selang, seal, dan paking. Komponen ini bisa menjadi getas, retak, atau mengembang, yang berisiko menyebabkan kebocoran bahan bakar.
- Ancaman bagi Mesin Karburator dan 2-Tak: Pakar bahan bakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yuswidjajanto Zaenuri, menyoroti risiko spesifik pada motor 2-tak. Sifat etanol yang bisa mengikat air dan oli sekaligus dapat menyebabkan fenomena separasi fasa, di mana oli samping terpisah dari bensin. Akibatnya, pelumasan mesin gagal total dan dapat berujung pada kerusakan fatal (mesin jebol).
Dampak Langsung bagi Pengguna Motor
Bagi puluhan juta pengguna motor di Indonesia, rencana ini membawa sejumlah potensi masalah yang perlu diantisipasi:
- Peningkatan Biaya Perawatan: Risiko korosi dan kerusakan komponen karet dapat memaksa pemilik motor untuk melakukan perbaikan atau penggantian komponen lebih cepat dari biasanya.
- Penurunan Efisiensi Bahan Bakar: Etanol memiliki kandungan energi yang sedikit lebih rendah daripada bensin murni. Artinya, konsumsi BBM kemungkinan akan sedikit lebih boros, meskipun perbedaannya tidak terlalu signifikan pada level E10 (diperkirakan sekitar 3-5%).
- Ketidakpastian Kompatibilitas: Banyak pemilik motor, terutama model di bawah tahun 2010 atau yang dibeli bekas, tidak memiliki informasi yang jelas mengenai apakah kendaraannya aman menggunakan E10. Kurangnya sosialisasi teknis yang masif berpotensi menimbulkan kebingungan dan kerusakan yang tidak perlu.
Menimbang Solusi dan Risiko
Rencana implementasi E10 adalah sebuah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan solusi nyata untuk tantangan energi dan lingkungan yang dihadapi Indonesia. Pengurangan impor, peningkatan oktan, dan emisi yang lebih bersih adalah keuntungan yang tidak bisa diabaikan.
Namun di sisi lain, risiko teknis yang mengintai pengguna motor, yang merupakan tulang punggung transportasi masyarakat, harus menjadi perhatian utama. Tanpa edukasi yang memadai, uji kompatibilitas yang transparan untuk berbagai jenis motor, dan mungkin insentif untuk adaptasi, kebijakan ini berpotensi membebani masyarakat. Jalan tengah diperlukan: pemerintah harus memastikan bahwa transisi menuju energi hijau tidak meninggalkan kerusakan di garasi jutaan rakyatnya.


