
© KOMPAS.com/ISNA RIFKA SRI RAHAYU
Sejak pertengahan September 2025, panggung kebijakan ekonomi Indonesia diramaikan oleh langkah strategis yang diambil Kementerian Keuangan di bawah komando Menteri Purbaya Yudhi Sadewa. Dana negara senilai Rp 200 triliun, yang bersumber dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), secara bertahap ditempatkan di lima bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) terbaru pada 22 Oktober 2025, Bank Indonesia (BI) mengonfirmasi bahwa manuver fiskal ini telah berhasil mencapai tujuan awalnya: meningkatkan jumlah uang beredar secara signifikan di tengah masyarakat.
Langkah ini dirancang dengan tujuan yang jelas, yaitu membanjiri sistem perbankan dengan likuiditas berbiaya rendah untuk mendorong penyaluran kredit dan mengakselerasi roda pertumbuhan ekonomi yang dinilai masih bergerak di bawah potensinya. Namun, di balik keberhasilan awal ini, Gubernur BI Perry Warjiyo menyoroti sebuah tantangan krusial yang kini menjadi fokus utama otoritas moneter dan fiskal. Tantangan tersebut adalah lambatnya transmisi kebijakan ini ke penurunan suku bunga kredit perbankan dan penyaluran dana ke sektor riil yang masih belum optimal, sebuah fenomena yang sering diibaratkan seperti “mendorong seutas tali”.
Pentingnya isu ini bagi publik tidak dapat diremehkan. Keberhasilan atau kegagalan kebijakan ini akan berdampak langsung pada ketersediaan modal bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), penciptaan lapangan kerja, serta laju pemulihan ekonomi nasional secara keseluruhan. Artikel ini akan mengupas tuntas dampak moneter yang telah terjadi, menganalisis tantangan penyaluran yang kompleks, memetakan berbagai sudut pandang para ahli, dan menelaah prospek ekonomi Indonesia ke depan di tengah guyuran likuiditas masif ini.
Strategi ‘Dana Cadangan’ untuk Mendorong Ekonomi
Kebijakan penempatan dana Rp 200 triliun ini bukanlah sebuah langkah yang diambil secara tiba-tiba, melainkan sebuah strategi fiskal yang terukur untuk memberikan stimulus langsung ke jantung sistem keuangan. Pemerintah secara resmi mulai menyalurkan dana tersebut pada 12 September 2025. Dana ini bukanlah hibah, melainkan penempatan deposito dengan suku bunga lebih rendah dari acuan pasar (80% dari BI-Rate) untuk mendorong bank menyalurkannya kembali sebagai kredit produktif.
Sumber dana ini berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), yaitu akumulasi sisa APBN tahun-tahun sebelumnya yang berfungsi layaknya “dana cadangan” negara. Penggunaan SAL untuk intervensi aktif ini menandai sebuah evolusi dalam manajemen kas negara, dari instrumen pasif menjadi alat kebijakan proaktif untuk mempengaruhi perilaku perbankan secara langsung.
Alokasi dana didistribusikan ke Bank Mandiri, BRI, dan BNI masing-masing Rp 55 triliun. Sementara itu, BTN menerima Rp 25 triliun dan BSI Rp 10 triliun. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menetapkan syarat ketat: dana tersebut dilarang digunakan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) atau valuta asing. Aturan ini dirancang untuk memastikan likuiditas benar-benar diarahkan untuk menggerakkan mesin ekonomi riil, bukan untuk spekulasi di pasar keuangan.
Mesin Moneter Bekerja: Uang Beredar Meningkat Tajam
Konfirmasi dampak awal kebijakan ini datang dari Bank Indonesia. “Kebijakan moneter longgar dan penempatan dana SAL pemerintah di perbankan mendorong kenaikan jumlah uang beredar,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo. Data BI mendukung pernyataan ini, menunjukkan akselerasi pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) dari 5,46% (yoy) pada Januari 2025 menjadi 7,59% (yoy) pada Agustus 2025.
Indikator uang primer (M0) juga melonjak signifikan, dengan pertumbuhan mencapai 18,58% (yoy) pada September 2025. Angka-angka ini membuktikan bahwa injeksi fiskal Rp 200 triliun telah berhasil meningkatkan likuiditas secara melimpah dalam sistem perekonomian.
Efek ini diperkuat oleh kebijakan moneter BI yang sangat akomodatif. Pada RDG Oktober 2025, BI mempertahankan suku bunga acuan (BI-Rate) di level 4,75%, terendah sejak 2022. Sinergi antara intervensi fiskal pemerintah dan kebijakan moneter longgar BI ini dirancang sebagai bauran kebijakan terkoordinasi untuk membongkar kekakuan dalam sistem perbankan dan mempercepat stimulus ekonomi.
Indikator Kunci Kebijakan Moneter Bank Indonesia (Oktober 2025)
| Indikator | Nilai |
| BI-Rate | 4,75% |
| Suku Bunga Deposit Facility | 3,75% |
| Suku Bunga Lending Facility | 5,50% |
| Target Inflasi 2025 | 2,5% ± 1% |
| Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2025 (BI) | 4,6% – 5,4% |
| Sumber: Rilis Pers Bank Indonesia | |
Fenomena ‘Mendorong Tali’: Likuiditas Melimpah, Kredit Masih Seret
Meskipun likuiditas meningkat, tantangan sesungguhnya adalah mentransformasikan dana tersebut menjadi kredit produktif. “Isunya, masalahnya adalah bagaimana suku bunga dana pihak ketiga dan suku bunga kredit yang turunnya masih berjalan lambat. Itu yang kami terus dorong,” ujar Perry Warjiyo, menggarisbawahi adanya “sumbatan” dalam pipa transmisi kebijakan.
Data menunjukkan pertumbuhan kredit perbankan per September 2025 hanya sebesar 7,70% (yoy), belum menunjukkan akselerasi signifikan. Di sisi lain, fasilitas pinjaman yang belum ditarik oleh debitur (undisbursed loan) masih sangat besar, mencapai Rp 2.374,8 triliun. Ini menjadi sinyal kuat bahwa banyak pelaku usaha masih bersikap wait and see.
Analisis penyaluran dana oleh masing-masing bank penerima juga menunjukkan gambaran yang kompleks.
Alokasi dan Progres Penyaluran Dana Pemerintah Rp 200 Triliun (per Oktober 2025)
| Bank | Alokasi Dana (Triliun Rp) | Progres Penyaluran (%) | Estimasi Nilai Penyaluran (Triliun Rp) |
| Bank Mandiri | 55 | 74% | 40,7 |
| BRI | 55 | 62% | 34,1 |
| BNI | 55 | 50% | 27,5 |
| BTN | 25 | 19% | 4,75 |
| BSI | 10 | 55,5% | 5,55 |
| Sumber: Kementerian Keuangan, Laporan Media | |||
Bank Mandiri, BRI, dan BSI menunjukkan progres yang relatif baik. Sebaliknya, penyerapan rendah di BTN bisa menjadi sinyal lesunya permintaan di sektor properti. Perbedaan ini menunjukkan bahwa bank tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian (prudential banking) dan tidak bisa sembarangan menggelontorkan dana, menyoroti dilema antara menjalankan mandat pemerintah dan menjaga kesehatan neraca keuangan.
Optimisme Pemerintah vs. Catatan Kritis Ekonom
Prospek kebijakan ini memunculkan dua narasi kontras. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa optimistis stimulus ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 6% pada 2026. Namun, para ekonom memberikan pandangan lebih hati-hati. Direktur INDEF, Eisha, berpendapat bahwa akar masalahnya bukan kurangnya likuiditas, melainkan lemahnya daya beli masyarakat dan permintaan kredit. “Fokus seharusnya bukan menambah likuiditas, tapi memperkuat daya beli masyarakat,” tegasnya.
Di tengah perdebatan ini, beberapa risiko potensial perlu diwaspadai:
- Risiko Inflasi: Peningkatan jumlah uang beredar yang cepat dapat memicu tekanan inflasi jika tidak diimbangi peningkatan produksi.
- Risiko Kredit Macet (NPL): Tekanan untuk mempercepat penyaluran dana dapat mendorong bank melonggarkan standar kredit, yang berpotensi menjadi bom waktu NPL di masa depan.
- Risiko Dana Mengendap (Idle Funds): Jika permintaan kredit produktif tetap lemah, dana likuiditas bisa saja hanya berputar di sistem keuangan atau tersalurkan ke kredit konsumtif yang kurang produktif.
Langkah ke Depan: Mengawasi Transmisi dan Menjaga Stabilitas
Pekerjaan rumah terbesar kini adalah memastikan likuiditas mengalir lancar dari perbankan ke denyut nadi perekonomian riil. Pengawasan ketat menjadi kunci, di mana Kemenkeu dan OJK akan terus mengevaluasi kinerja penyaluran dana oleh bank-bank BUMN. Pemerintah bahkan telah mengisyaratkan kemungkinan untuk mengevaluasi ulang alokasi dana jika tingkat penyerapan dinilai terlalu rendah.
Pada akhirnya, penempatan dana Rp 200 triliun ini adalah sebuah eksperimen kebijakan berskala besar. Keberhasilannya tidak akan diukur dari angka likuiditas yang melimpah, tetapi dari dampak nyata yang dirasakan di lapangan: geliat usaha di pasar, realisasi proyek investasi, dan terciptanya lapangan kerja baru. Beberapa bulan ke depan akan menjadi periode krusial untuk membuktikan apakah guyuran likuiditas ini mampu menjadi bahan bakar utama bagi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia.


