
(Sumber Foto : news.republika.co.id )
BANDUNG, JAWA BARAT – Di tengah perdebatan publik yang kian menghangat, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi akhirnya angkat bicara untuk memberikan klarifikasi resmi mengenai program ‘Rereongan Sapoe Seribu’. Menjawab keresahan dan tudingan bahwa gerakan ini merupakan pungutan wajib terselubung, Dedi Mulyadi dengan tegas menyatakan bahwa partisipasi dalam program donasi Rp1.000 per hari ini sepenuhnya didasarkan pada prinsip kesukarelaan dan solidaritas sosial, bukan sebuah kewajiban atau bentuk pungutan baru bagi masyarakat.
Klarifikasi ini menjadi respons langsung terhadap berbagai suara di masyarakat yang mempertanyakan esensi program tersebut. Sebagian warga khawatir inisiatif yang bertujuan mulia ini justru menjadi beban, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dan memunculkan skeptisisme yang berakar pada pengalaman kolektif terhadap praktik pungutan liar (pungli) yang kerap berkedok sumbangan.
Menjawab Keresahan Publik: “Ini Murni Sukarela, Bukan Pungutan”
Dalam berbagai kesempatan, Gubernur Dedi Mulyadi secara konsisten menekankan bahwa ‘Rereongan Sapoe Seribu’ adalah gerakan sosial yang bertujuan untuk menghidupkan kembali semangat gotong royong. “Kontribusi sederhana ini menjadi wujud solidaritas dan kesukarelawanan sosial demi membantu kebutuhan darurat masyarakat,” ujar Dedi dalam salah satu keterangan resminya. Ia menegaskan bahwa tidak ada paksaan sama sekali bagi warga untuk berpartisipasi.
Penegasan ini diperkuat oleh landasan hukum program yang berupa Surat Edaran (SE) Nomor 149/PMD.03.04/KESRA, bukan Peraturan Daerah (Perda). Pilihan instrumen hukum ini secara inheren menunjukkan bahwa program tersebut bersifat imbauan, bukan perintah yang memiliki sanksi hukum. Klarifikasi ini ditujukan untuk meredam persepsi negatif dan meyakinkan publik bahwa pemerintah tidak sedang menciptakan beban finansial baru, melainkan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam sebuah jaring pengaman sosial komunal.
Akar Kontroversi: Mengapa Program Solidaritas Dicurigai?
Klarifikasi dari Dedi Mulyadi dianggap perlu karena program ini sejak awal telah memicu spektrum reaksi yang luas. Di satu sisi, banyak yang memuji ide ini sebagai terobosan positif. Namun di sisi lain, tidak sedikit yang menyuarakan keraguan. Kekhawatiran utama datang dari kelompok masyarakat yang merasa nominal Rp1.000 per hari bisa menjadi signifikan bagi mereka yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan pokok. “Mereka kan agak kesusahan juga buat makan, ditambah mungkin ini bisa memberatkan,” ujar Silfi (29), seorang pekerja swasta.
Selain itu, muncul kritik yang lebih fundamental mengenai peran pemerintah. Sebagian warga, seperti Hamzah (25), berpendapat bahwa urusan sosial adalah tanggung jawab negara yang harusnya didanai penuh oleh APBD hasil pajak, bukan melalui donasi. “APBD lebih di-manage lagi,” tegasnya, menyiratkan perlunya optimalisasi anggaran ketimbang meminta sumbangan dari rakyat. Skeptisisme ini diperparah oleh trauma kolektif masyarakat terhadap praktik pungli di berbagai sektor, terutama pendidikan, di mana sumbangan sukarela sering kali menjadi pungutan wajib terselubung.
Revitalisasi Tradisi ‘Rereongan’ di Era Modern
Dalam klarifikasinya, Dedi Mulyadi juga menjelaskan bahwa ‘Rereongan Sapoe Seribu’ bukanlah sebuah konsep yang sepenuhnya baru. Program ini terinspirasi dari tradisi luhur masyarakat Sunda seperti ‘Rereongan’ (gotong royong) dan ‘Jimpitan’ (iuran kecil harian untuk kepentingan bersama). Tujuannya adalah merevitalisasi kearifan lokal tersebut dan mengadaptasinya ke dalam konteks modern yang lebih terstruktur.
Dana yang terkumpul dari gerakan ini direncanakan untuk dialokasikan pada kebutuhan-kebutuhan darurat masyarakat yang sering kali tidak terjangkau oleh birokrasi anggaran formal, seperti biaya pengobatan mendadak, bantuan bencana skala kecil, atau kesulitan ekonomi temporer lainnya. Dengan membingkai program ini sebagai kelanjutan tradisi, pemerintah berupaya membangun koneksi emosional dan kultural dengan masyarakat, mengubah persepsi dari “iuran pemerintah” menjadi “gerakan milik bersama”.
Kunci Keberhasilan: Transparansi Mutlak
Meskipun klarifikasi telah diberikan, semua pihak, baik yang mendukung maupun yang mengkritik, menyuarakan satu tuntutan yang sama: transparansi dan akuntabilitas. Warga seperti Imam Maftuh (32) menyatakan dukungannya bersyarat pada adanya “skema penyaluran yang jelas” untuk mencegah dana disalahgunakan oleh oknum.
Tuntutan ini juga diamini oleh Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ono Surono. Meskipun mendukung penuh gerakan ini sebagai solusi di tengah potensi penurunan APBD, ia menekankan pentingnya tata kelola yang baik dan laporan berkala yang akuntabel, mencontoh transparansi pengelolaan keuangan masjid. Hal ini menunjukkan bahwa klarifikasi verbal dari gubernur adalah langkah awal yang penting, namun pembuktian sesungguhnya terletak pada implementasi di lapangan. Kepercayaan publik hanya bisa diraih dan dipertahankan jika setiap rupiah yang terkumpul dapat dilacak dan dipertanggungjawabkan secara terbuka. Tanpa itu, ‘Rereongan Sapoe Seribu’ akan sulit melepaskan diri dari bayang-bayang kecurigaan sebagai pungutan liar.


