
Di antara banyaknya buku pengembangan diri, “The Courage to Be Disliked” (Berani Tidak Disukai) karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga menjadi salah satu yang paling populer secara global. Buku ini bukanlah sekadar kumpulan tips motivasi, melainkan sebuah dialog yang membahas pemikiran Alfred Adler, seorang psikolog terkemuka dari abad ke-20. Melalui format percakapan antara seorang filsuf dan pemuda, buku ini mengajak pembaca untuk melihat kembali keyakinan umum tentang masa lalu, hubungan, dan kebahagiaan, serta menawarkan cara untuk mencapai kebebasan pribadi.
Popularitas buku ini menunjukkan adanya keinginan di masyarakat modern untuk melepaskan diri dari tekanan ekspektasi sosial dan menemukan kebahagiaan yang otentik. Lantas, apa saja konsep utama dari filosofi Adler yang dibahas dalam karya ini dan bagaimana kita bisa menerapkannya?
Mengenal Alfred Adler: Psikolog di Balik Gagasan Keberanian
Meskipun namanya tidak sepopuler Sigmund Freud atau Carl Jung, Alfred Adler adalah salah satu dari tiga tokoh penting di bidang psikologi. Awalnya ia merupakan anggota dari Vienna Psychoanalytic Society pimpinan Freud, namun Adler kemudian memisahkan diri karena perbedaan pandangan mendasar. Ia mengembangkan “Psikologi Individual”, sebuah teori yang menekankan bahwa setiap individu adalah satu kesatuan yang utuh, bukan kumpulan dari komponen yang terpisah-pisah.
Berbeda dengan Freud yang sangat menekankan peran masa lalu, Adler percaya bahwa hidup kita tidak ditentukan oleh pengalaman, melainkan oleh makna yang kita berikan pada pengalaman tersebut. Inilah yang menjadi dasar dari seluruh gagasan yang disajikan dalam “Berani Tidak Disukai”.
Menyangkal Trauma: Fokus pada Tujuan, Bukan Penyebab
Salah satu gagasan paling menonjol dalam buku ini adalah penolakannya terhadap konsep trauma versi Freud. Psikologi Adlerian tidak berfokus pada etiologi (studi tentang sebab-akibat), di mana kondisi saat ini dianggap sebagai akibat dari kejadian di masa lalu. Sebaliknya, Adler memperkenalkan teleologi, yaitu pandangan bahwa perilaku manusia didorong oleh tujuan (telos).
Sebagai contoh, seseorang yang mengurung diri di kamar tidak selalu disebabkan oleh trauma masa lalu, melainkan bisa jadi karena ia memiliki tujuan “untuk tidak keluar rumah”. Untuk mencapai tujuan itu, ia secara tidak sadar menciptakan perasaan cemas dan takut sebagai alat. Pandangan ini memberikan kembali kendali kepada individu, dengan menyatakan bahwa “hidupmu ditentukan di sini dan saat ini”.
Akar Semua Masalah: Hubungan Interpersonal
Adler memiliki pandangan yang jelas: “Semua masalah adalah masalah hubungan interpersonal”. Perasaan rendah diri, misalnya, tidak muncul dari dalam diri sendiri, melainkan timbul dari perbandingan diri dengan orang lain dalam konteks sosial. Ketika kita melihat hidup sebagai sebuah kompetisi, kita akan memandang orang lain sebagai lawan, bukan kawan.
Pandangan kompetitif ini menciptakan kesulitan: kita takut kalah, cemas akan penilaian orang lain, dan tidak bisa tulus berbahagia atas kesuksesan orang lain karena menganggapnya sebagai “kekalahan saya”. Menurut Adler, untuk keluar dari masalah ini, kita harus berhenti membandingkan diri dan mulai melihat sesama manusia sebagai kawan yang setara.
Pemisahan Tugas: Kunci untuk Meraih Kebebasan
Untuk melepaskan diri dari masalah dalam hubungan interpersonal, Adler menawarkan solusi praktis yang disebut “pemisahan tugas” (separation of tasks). Konsep ini mengajarkan kita untuk membedakan secara jernih mana yang menjadi tugas kita dan mana yang menjadi tugas orang lain. Cara menentukannya adalah dengan bertanya: “Siapa yang pada akhirnya akan menerima hasil dari pilihan yang dibuat?”.
Misalnya, apakah seorang anak mau belajar atau tidak, itu adalah tugas anak. Orang tua yang memaksa adalah bentuk intervensi terhadap tugas anak, yang justru dapat menimbulkan konflik. Demikian pula, bagaimana orang lain menilai kita adalah tugas mereka, bukan tugas kita. Kebebasan, menurut sang filsuf, adalah berani untuk tidak terlalu terikat pada ekspektasi orang lain. Ini bukan berarti kita harus bertindak semaunya, tetapi kita tidak perlu takut untuk tidak disukai saat menjalani hidup sesuai prinsip kita.
Menemukan Kebahagiaan Melalui Kontribusi
Jika semua masalah berasal dari hubungan interpersonal, maka kebahagiaan juga ditemukan di sana. Menurut Adler, kebahagiaan adalah “perasaan berkontribusi” (the feeling of contribution). Ketika seseorang merasa “berguna bagi seseorang” atau “bermanfaat bagi komunitas”, ia akan mendapatkan kesadaran akan nilainya sendiri.
Kontribusi ini tidak harus berupa tindakan besar. Cukup dengan memiliki perasaan subjektif bahwa keberadaan kita bermanfaat bagi orang lain sudah cukup. Untuk mencapai perasaan ini, kita perlu memiliki “keberanian untuk menjadi normal”, yaitu menerima diri apa adanya tanpa tuntutan untuk menjadi “spesial”. Hidup bukanlah sebuah perlombaan menuju puncak, melainkan serangkaian momen “di sini dan saat ini” yang perlu dijalani dengan sungguh-sungguh. Pada akhirnya, makna hidup bukanlah sesuatu yang diberikan, melainkan sesuatu yang kita ciptakan sendiri melalui kontribusi kepada sesama.


